PPKTI 2017
Tema Paper :
Lingkungan Hidup
Judul Paper : “Pengaruh
Kualitas Drainase Terhadap Sistem Polder Banjir di Samarinda”
Disusun
Oleh Kelompok 4 :
1. Hotimatul Hasanah (1501035108)
2. Vaniya Fajar (1501035249)
3. Jumarni (1501025154)
4. Annisa Ulya Novriana (1601035026)
5. Ade Ramadhan (1601035040)
6. Upik Refitamasi (1601035027)
7. Muhammad Rezani (1601035151)
8. Zumrotus Sa’diyah (1601045043)
9. Ari Ahmad (1401035031)
10. Diah Isnaini (1601035039)
11. Khasanatun Ristinah (1505065022)
Fakultas
Ekonomi dan Bisnis
Universitas
Mulawarman
Abstrak
Penelitian
ini membahas tentang kualitas drainase di Kota Samarinda dalam pengendalian
banjir melalui sistem polder dan kendala-kendala yang dihadapi untuk
mengoptimalkan kualitas drainase yang sudah ada.
Penelitian ini dilakukan di Kota Samarinda. Metode
penelitian yang digunakan adalah jenis
penelitian deskriptif kualitatif yang di mana memaparkan dan bertujuan
memberikan gambaran serta menjelaskan dari variabel yang diteliti dan
penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah dan
dilakukan terhadap variabel mandiri yaitu tanpa membuat perbandingan atau
menghubungkan dengan variable lainnya. Sumber data diperoleh dengan mengunakan
teknik purposive sampling.
Kesimpulan dari hasil penelitian yang ditemukan oleh
penulis menunjukan bahwa upaya pemerintah Kota Samarinda dalam
pengendalian mengatasi banjir, seperti membuat
pembangunan polder, drainase dan gorong-gorong untuk mengurangi intensitas
banjir ini belum optimal,
ini terjadi dikarenakan kualitas drainase yang masih buruk sehingga mengganggu
aliran air menuju polder.
Kata
Kunci : Kualitas
Drainase, Sistem Polder Banjir, Kota Samarinda
A.PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Banjir di daerah perkotaan memiliki karakteristik yang berbeda
dengan banjir lahan/alamiah. Kasus–kasus banjir di daerah perkotaan memiliki
beberapa masalah yang perlu ditelaah lebih lanjut. Arah aliran yang terjadi tidak sepenuhnya
bergantung pada kondisi topografi lahan. Apabila suatu daerah mempunyai drainase dataran banjir yang
kurang memadai, maka daerah tersebut akan menjadi daerah banjir di saat musim
hujan. Daerah layanan drainase Kota Samarinda saat ini sudah cukup luas, namun
yang menjadi permasalahan adalah kapasitas dari saluran drainase yang semakin
mengalami penurunan. Saluran drainase tersebut selain
kapasitasnya terlalu kecil juga beban sedimen yang tinggi. Hal
ini mengakibatkan aliran
air dari
beberapa drainase menuju
polder akan terganggu.
Di Kota Samarinda banjir sering
terjadi di beberapa bagian Kota seperti di Kecamatan Samarinda Ulu, Samarinda
Utara dan daerah–daerah lainnya. Hal ini tentu saja meresahkan masyarakat. Dan
menjadi permasalahan bagi pemerintah Kota Samarinda karena mengganggu kenyamanan dan keindahan
lingkungan
Kota Samarinda.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik mengadakan penelitian
dengan mengambil judul sebagai berikut “Pengaruh
Kualitas Drainase Terhadap Sistem Polder Banjir
di Kota Samarinda”.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka permasalahan yang
dikemukakan dalam penulisan ini adalah:
1.
Apakah
terdapat pengaruh antara Kualitas Drainase Terhadap Sistem Polder Banjir di Samarinda?
2.
Apa saja
kendala-kendala yang dihadapi dan upaya yang dilakukan pemerintah untuk
meningkatkan kualitas drainase di Samarinda?
Tujuan
Penelitian
Setiap penelitian yang
dilaksanakan pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai, hal ini dimaksud untuk
dapat memberikan arah kepada seorang peneliti dalam pelaksanaan kegiatannya agar dapat menentukan kemana
seharusnya berjalan dan berbuat, adapun tujuan dari peneliti adalah :
1.
Untuk mengetahui pengaruh
kualitas drainase terhadap sistem polder banjir di Samarinda.
2.
Untuk mengetahui
kendala-kendala
yang dihadapi dan upaya yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan
kualitas drainase di Kota Samarinda.
Manfaat
Penelitian
Pada dasarnya setiap penelitian
disertai suatu harapan agar hasilnya dapat digunakan sebaik mungkin bagi pihak
pihak yang membutuhkan. Berkaitan dengan tujuan penelitian, maka penelitian
ini diharapkan
dapat berguna. Adapun kegunaan penelitian ini terbagi menjadi 2 yaitu :
1.
Secara praktis
Dari segi praktis,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan positif bagi masyarakat
dan pemerintah Kota Samarinda dalam mengatasi banjir yang terjadi di
Kota Samarinda.
2.
Secara teoritis
Penulis
mengharapkan, penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran terutama
dalam menjaga lingkungan hidup, khususnya mengenai kualitas
drainase terhadap sistem polder banjir
di
Kota Samarinda.
B.LANDASAN
TEORI
Teori dan konsep
Dalam penelitian ilmiah tidak
terlepas dari teori dan konsep dengan masalah yang dibahas, hal ini dimaksudkan
agar penelitian yang akan dilakukan dapat memberikan arah yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan berupa pengertian teori, karena teori ini adalah sebagai
dasar pedoman yang akan memecahkan masalah dan merupakan model dalam menunjang
keberhasilan suatu penelitian.
Dengan demikian teori dan
penelitian tidak dapat dipisahkan karena fenomena tersebut dapat dianalisis atau
dijelaskan melalui alur pikir teori yang relevan oleh karena itu peneliti harus paham
tentang pengertian teori.
Menurut Wiliam Wiersma (dalam
Sugiono, 2003:41) menyatakan teori adalah generalisasi atau kumpulan yang dapat
digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena. Cooper (dalam Sugiono, 2013:41)
mengemukakan bahwa teori adalah seperangkat konsep definisi, proposisi, yang
tersusun secara sistematis sehingga digunakan untuk menjelaskan dan meramalkan
fenomena.
Selanjutnya menurut Pasalong
(2012:77), konsep adalah abtraksi mengenai fenomena yang dirumuskan atas dasar
generalisasi dari sejumlah karateristik kejadian, keadan, kelompok atau
individu tertentu.
Drainase
Drainase mempunyai arti mengalirkan, menguras, membuang,
atau mengalihkan air. Secara umum, drainase didefinisikan sebagai serangkaian
bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air
dari suatu kawasan atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal.
Drainase juga diartikan sebagai usaha untuk mengontrol kualitas air tanah dalam
kaitannya dengan sanitasi. (Dr. Ir. Suripin, M.Eng.2004)
Sedangkan pengertian tentang drainase kota pada dasarnya
telah diatur dalam SK menteri PU No. 233 tahun 1987. Menurut SK tersebut, yang
dimaksud drainase kota adalah jaringan pembuangan air yang berfungsi
mengeringkan bagian-bagian wilayah administrasi kota dan daerah urban dari
genangan air, baik dari hujan lokal maupun luapan sungai melintas di dalam
kota.
Sistem Polder
Sistem polder adalah suatu cara penanganan banjir dengan
kelengkapan bangunan sarana fisik, yang meliputi saluran drainase, kolam
retensi, pompa air, yang dikendalikan sebagai satu kesatuan pengelolaan. Dengan
sistem polder, maka lokasi rawan banjir akan dibatasi dengan jelas, sehingga
elevasi muka air, debit dan volume air yang harus dikeluarkan dari sistem dapat
dikendalikan. Oleh karena itu, sistem polder disebut juga sebagai sistem
drainase yang terkendali.
Sedangkan pengertian tentang system polder pada dasarnya
telah diatur dalam Peraturan Menteri PU No. 12 tahun 2014. Menurut peraturan
tersebut yang dimaksud sistem polder adalah suatu sistem yang secara hidrologis
terpisah dari sekelilingnya baik secara alamiah maupun buatan yang dilengkapi
dengan tanggul, sistem drainase internal, pompa dan/atau waduk, serta pintu
air.
Banjir
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI)
mengatakan bahwa Banjir merupakan fenomena alam yang biasa terjadi disuatu
kawasan yang banyak dialiri oleh aliran sungai. Secara sederhana banjir dapat
didefinisikan sebagai hadirnya air disuatu kawasan luas sehingga menutupi
permukaan bumi kawasan tersebut. “Sebuah banjir adalah peristiwa yang terjadi
ketika aliran air yang berlebihan merendam daratan”.
Penyebab
Banjir
Berdasarkan
pengamatan, bahwa banjir disebabkan oleh dua katagori yaitu banjir akibat alam
dan banjir akibat aktivitas manusia. Banjir akibat alam dipengaruhi oleh curah
hujan, fisiografi, erosi dan sedimentasi, kapasitas sungai, kapasitas drainase
dan pengaruh air pasang. Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Robert (2002 : 45)
penyebab banjir terbagi menjadi 2 yaitu, secara alami dan banjir yang di
sebabkan aktivitas manusia.
Pengendalian
Menurut Terry (dalam hasibun, 2005 : 242)
mengatakan bahwa pengendalian dapat didefinisikan sebagai proses penentuan, apa
yang harus dicapai yaitu standar apa yang sedang dilakukan yaitu pelaksana, menilai
pelaksanaan dan apabila perlu melakukan perbaikan-perbaikan, sehingga
pelaksanaan sesuai dengan rencana yaitu selaras dengan standar.
Selain
itu menurut Horald (dalam Hasibuan, 2005:41) pengendalian adalah pengukuran dan
perbaikan terhadap pelaksanaan kerja bawahan, agar rencana-rencana yang telah
dibuat untuk mencapai tujuan-tujuan dapat terselenggara.
Definisi konsepsional
Definisi
konsepsional adalah suatu abstrak dari kejadian yang menjadi sasaran penelitian
dan juga memberikan batasan tentang luasan ruang lingkup penelitian.
Berdasarkan pendapat diatas, maka penulis
dapat mengemukakan definisi
konsep dari variabel yang diteliti. Upaya pengendalian banjir di Kota Samarinda bukan hanya melaksanakan pembangunan
infrastruktur seperti drainase, kanal atau waduk akan
tetapi juga memperhatikan kualitas Infrastruktur yang
sudah dibuat, dimana hal ini sangat mempengaruhi kelancaran dari sistem polder.
Untuk meningkatkan dan mempertahankan drainase harus ada partisipasi dari
berbagai pihak yaitu akademisi, praktisi, pemerintah dan masyarakat. Apabila
kualitas drainase sudah optimal, maka aliran air menuju polder akan mengalir
secara maksimal. Hal ini sangat efektif untuk meminimalisir genangan banjir di
Kota Samarinda.
C. METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Moleong
(2000 : 6) mengemukakan bahwa deskriptif adalah data yang dikumpulkan berupa
kata – kata, gambaran, dan bukan angka – angka. Dari pendapat ini dijelaskan
penelitian deskriptif dalam penyajian ini lebih kepada kata-kata, kalimat atau
gambar, juga berupa naskah wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi,
dokumen resmi atau memo.
Penelitian
deskriptif kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk meneliti pada
kondisi obyek yang alamiah dan dilakukan terhadap variabel mandiri yaitu tanpa
membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variable lainnya. (Sugiyono
2013:1).
Sumber Data
Pemanfaatan informan bagi
peneliti ialah agar dalam waktu yang relative singkat banyak informasi yang
terjangkau karena informasi dimanfaatkan untuk berbicara, bertukar pikiran atau
membandingkan suatu kejadian yang ditemukan dari subjek lainnya. Jenis data
dalam hal ini didapatkan melalui sumber data sebagai berikut :
1.
Data Primer adalah
data yang diperoleh langsung dari responden atau ada hubungan dengan objek melalui
tanya jawab atau
wawancara secara
langsung dengan mengunakan pedoman wawancara sesuai dengan fokus penelitian
yang penulis teliti.
2.
Data Sekunder adalah
data yang telah lebih dahulu dikumpulkan dan dilaporkan oleh orang atau
instansi diluar dari penelitian sendiri, walaupun yang dikumpulkan itu
sesungguhnya adalah
data asli. Penulisan diperoleh melalui sumber informasi, yakni :
a.
Dokumen – dokumen,
arsip – arsip dan laporan – laporan.
b.
Buku – buku referensi
yang terdapat di perpustakan sesuai dengan fokus penelitian.
Sugiyono (2013 : 53-54) teknik
Purposive Sampling adalah menentukan subjek/objek sesuai tujuan, teknik
sampling ini digunakan dengan pertimbangan pribadi yang sesuai dengan topik
penelitian, peneliti memilih subjek/objek sebagai unit analisis yang
berdasarkan kebutuhannya dan menganggap bahwa unit analisi tersebut
representatif. Adapun sumber data yakni key informan adalah kepala Sub Bidang
Penataan Hukum Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kaltim dan Regional
Coordinator Samarinda (dari PT. Surveyor Indonesia ) dan Akademisi.
Teknik Pengumpulan Data
Ada tiga proses kegiatan yang di
lakukan oleh peneliti dalam rangka
pengumpulan data (Moleong 2007:168). Adapun proses yag di maksud, yaitu :
1.
Proses Memasuki
Lokasi penelitian (Getting In).
2.
Ketika Berada di
Lokasi Penelitian (Getting Along)
3.
Mengumpulkan data
(Logging The Data).
a.
Observasi.
b.
Interview
c.
Dokumentasi
Analisis Data
Dalam analisis penelitian ini,
peneliti menggunakan teknis analisis data
Milles dan Huberman (2007:18) yaitu pengumpulan data, reduksi atau
penyerderhanaan data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
D. PEMBAHASAN
· Gambaran Umum Kota Samarinda
Kota Samarinda merupakan Ibukota
Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Kutai Kartanegara.
Luas wilayah kota Samarinda adalah 718,00 km2 dan terletak antara 117°18’00”
bujur timur dan 117°18’14” bujur timur serta diantara 00°19’02” lintang selatan
dan 00°42’34” lintang selatan.
Berdasarkan Peraturan Daerah No 2
Tahun 2010 Tentang Pembentukan Kecamatan Sambutan, Kecamatan Samarinda Kota,
Kecamatan Sungai Pinang dan Kecamatan Loa Janan Ilir, maka Wilayah Kota
Samarinda terbagi menjadi 10 (sepuluh) dan 53 kelurahan.
· Iklim dan Hidrologi Kota Samarinda
Kondisi klimatologi kota samarinda menurut BMKG temindung, suhu minimum
berkisar antara 22,4°C dan suhu maksimum berkisar antara 35,2°C. Sedangkan
kelembaban udara terendah untuk Kota Samarinda rata-rata berkisaran sekitar 78%
dan kelembaban tertinggi berkisaran sekitar 84%. Kota Samarinda yang beriklim
tropis, hujan sepanjang tahun dengan curah hujan terendah 95,2 mm/th dan curah
hujan tertinggi 388,6 mm/th. Kecepatan angin terendah berkisaran 2,1 knot dan
tertinggi berkisaran sekitar 8,7 knot. Sungai-sungai yang melintasi Kota
Samarinda memiliki pengaruh yang cukup besar pada perkembangan kota samarinda. Sekaligus berfungsi
sebagai drainase primer dalam rangka pengendalian banjir serta tempat pembungan
air hujan. Kota Samarinda merupakan salah satu Kota yang mempunyai
posisi dekat dengan garis ekuator sehingga kondisi musim yang terjadi tidak
berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Berdasarkan data curah hujan yang ada
di wilayah Kota Samarinda menunjukkan bahwa rerata hujan tahunan sebesar 2.021
mm dengan hari hujan tahunan sebanyak 146 hari. Hujan maksimum harian yang
pernah terjadi di wilayah Kota Samarinda adalah 147 mm yang tercatat di stasiun
Temindung. Hujan harian maksimum ini setara dengan kala ulang 10 tahunan.
Berdasarkan kondisi yang ada tersebut di atas terindikasi bahwa wilayah Kota
Samarinda mempunyai rerata hujan yang cukup tinggi. Tingginya curah hujan ini
akan sangat mempengaruhi kondisi banjir Kota Samarinda, apabila fasilitas
drainase maupun fasilitas pengendali banjir yang lain belum mendukung.
Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Samarinda sudah memetakan sejumlah titik
rawan bencana di 2016 ini seiring dengan maraknya pengupasan lahan dan
pembangunan perumahan yang bisa mengakibatkan banjir. Seiring dengan mulai
datangnya musim hujan dengan intensitas tinggi saat ini BPBD pun ikut
siaga.“Daerah-daerah kawasan langganan banjir, longsor dan pohon tumbang,
dipastikan tetap dan tidak berpindah bahkan titik dan lokasinya dimungkinkan
bertambah. Lubang-lubang bekas galian tambang pun yang belum direklamasi bisa
menjadi penyebabnya. Sekedar diketahui berdasarkan dari data yang dihimpun
Koran Kaltim pada Rabu (13/4) kemarin, hampir sebagian kota Samarinda terendam
banjir saat hujan deras mengguyur Rabu (13/4) diantaranya simpang empat
Lembuswana, di Jl. I.r H. Juanda tepatnya di jembatan layang atau fly over,
Teluk Lerong, Jl Dr Soetomo, Gunung Kapur, Jl DI Panjaitan dan Jalan Padat
Karya.
·
Penyebab
Banjir di Samarinda
Kota Tepian selalu tergenang
ketika hujan deras. Meminjam data milik Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
Samarinda, terdapat lebih 500 titik banjir yang tersebar di seantero kota.
Titik rawan terbanyak ada di kawasan Kecamatan Sungai Pinang. Ada
beberapa faktor penyebab banjir di Samarinda, seperti :
1. Pasang-surut
Sungai Mahakam
Pengaruh air pasang, Pasang air laut
juga mempunyai efek yang berarti pada masalah banjir, khususnya jika puncak
banjir bersamaan dengan air pasang tinggi. Sungai Mahakam sangat berpengaruh
terhadap kelancaran aliran anak-anak sungainya, yang mana terdapat beberapa
anak sungai Mahakam yang berada di Kota Samarinda seperti sungai Karangmumus,
sungai Karang Asam Besar dan Karang Asam Kecil, sungai Loa Bakung, sungai
Sambutan, dan sungai-sungai yang lain. Pasang naik sungai Maraca tertinggi
mencapai 1,35 m, hal ini sangat berpengaruh terhadap kelancaran anak sungai
Mahakam dan saluran-saluran drainase yang pada umumnya di wilayah Samarinda
mempunyai kemiringan dasar saluran yang landai.
2. Pendangkalan
anak sungai
Mencermati secara fisik aliran air
yang ada di sungai yang melintas Kota Samarinda terlihat pada saat musim
penghujan atau sesaat setelah terjadi hujan warna air yang mengalir di sungai
terlihat coklat ke hitam-hitaman. Kondisi ini mengindikasikan bahwa terdapat
konsentrasi sedimen yang cukup tinggi. Selain sedimentasi di sungai indikasi
tingginya tingkat erosi di DAS dapat dilihat di saluran-saluran drainase yang
masuk sungai alam. Banyak saluran drainase yang menyempit bahkan ada yang sudah
tidak dapat berfungsi karena sedimentasi di saluran drainase.
3. Kondisi
gunung telah banyak dikupas
Pembukaan lahan pertambangan
batubara di beberapa lokasi perbukitan juga menyebabkan hilangnya vegetasi
penutup lahan, selain terjadi limpasan sesaat yang cukup tinggi bila hujan
turun juga sedimentasi akibat pembukaan lahan (land clearing), sehingga akan
menambah beban sedimen baik itu di sungai maupun saluran drainase. Banyak
comtoh alokasi di DAS yang telah mengalami perubahan seperti di DAS
Karangmumus, dimana di sub DAS sungai Binangat di daerah hulu DAS telah dilakukan
penambangn batubara. Penambangan ini telah merubah daerah peruntukan DAS yang
semula sebagai perkebunan/ladang menjadi daerah terbuka, sehingga akan sangat
memepngaruhi nilai koefisien resapan DAS. Selain di DAS Karangmumus juga di sub
DAS Karang Asam Besar, juga di daerah hulu terdapat pertambangan batubara.
4. Daya
serap berkurang
Berkaitan dengan morfologi sungai di
wilayah Kota Samarinda banyak terdapat daerah-daerah cekungan dimana daerah
tersebut pada awlanya sebagai daerah retarding basin, namun saat ini daerah
tersebut telah berubah menjadi daerah pemukiman penduduk. Dengan perubahan
peruntukan ini secara awam daerah tersebut dikategorikan sebagai daerah rawan
banjir, padahal berdasar morfologi sungai daerah tersebut sebagai daerah
retarding basin. Banyak lokasi retarding basin yang telah berubah fungsi yaitu
daerah Gunung Lingai yang merupakan lokasi retarding basin sungai Karangmumus
dan Sungai Sempaja. Lokasi ini telah berubah menjadi daerah pengembangan
permukiman dan sebagai daerah pertokoan. Daerah rawa di sekitar Jl. Jakarta –
Loa Bakung yang saat ini telah berubah menjadi lokasi permukiman dimana secara
alami fungsi daerah tersebut sebagai retarding basin sungai Loa Bakung.
5. Sistem
drainase belum selesai dibenahi
Daerah layanan drainase Kota
Samarinda saat ini sudah cukup luas, namun yang menjadi permasalahn adalah
kapasitas dari saluran drainase yang semakin mengalami penurunan. Dari
pengamatan di lapangan merupakan penyebab utama berkurangnya kapasitas alir
saluran. Meskipun kepadatan saluran drainase yang ada di Kota Samarinda secara
umum telah mencukupi namun dari hasil pengamatan lapangan didapati kapasitas
saluran yang tidak memadahi. Sebagai contoh adalah saluran drainase di daerah
Temindung, saluran drainase Jl. Cendana, saluran drainase Jl. Kadrie Oening,
Jl. Suryanata, Jl. Slamet Riyadi, dan lainnya. Saluran drainase tersebut selain
kapasitasnya terlalu kecil juga beban sedimen yang tinggi.
Tabel. 7 Sungai
Mempunyai Potensi Banjir
No
|
Nama sungai
|
Luas sungai
|
1
|
Sungai Karangmumus
|
320 km²
|
2
|
Sungai Karangmumus
Kecil
|
16,7 km²
|
3
|
Sungai Karangmumus
Besar
|
58,7 km²
|
4
|
Sungai Loa Bakung
|
14 km²
|
5
|
Sungai Loa Janan
|
53,1km²
|
6
|
Sungai Rapak Dalam
|
10,2 km²
|
Sumber data : Dinas Bina
Marga dan Pengairan Kota Samarinda
· Drainase
Drainase yang berasal dari bahasa Inggris drainage mempunyai arti mengalirkan, menguras,
membuang, atau mengalihkan air. Dalam bidang teknik sipil, drainase dapat
didefinisikan sebagai suatu tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air, baik
yang berasal dari air hujan, rembesan, maupun kelebihan air irigasi dari suatu kawasan
/ lahan, sehingga fungsi kawasan / lahan tidak terganggu.
Saat ini sebagian besar wilayah
berkembang di Kota Samarinda telah terlayani oleh jaringan drainase. Konstruksi
saluran drainase yang ada sebagian sudah berupa saluran dengan pasangan batu
dan sebagian saluran tanpa konstruksi batu atau saluran tanah. Berdasarkan data
survey yang pernah dilakukan dalam studi Penyusunan Outline rencana Induk
Drainase Kota Samarinda panjang saluran drainase Kota Samarinda adalah
303.112,40 Km yang terdiri dari saluran dengan pasangan batu sepanjang
104.149,40 Km dan saluran tanpa pasangan 198.963,00 Km. Dari panjang saluran
drainase yang ada di Kota Samarinda banyak saluran yang sudah tidak berfungsi
sebagaimana mestinya bahkan sudah tidak berfungsi sebagai saran pamatusan air
limpasan permukaan.
Beberapa masalah yang terkait dengan
saluran drainase Kota Samarinda seperti banyak saluran drainase yang pada saat
perencanaan dahulu didesain mampu untuk mengalirkan air dari daerah tangkapan
air namun sekarang kapasitas yang direncanakan tersebut sudah tidak mampu lagi.
Dalam permasalahan ini kapasitas desain sudah tidak sesuai dengan debit
limpasan yang terjadi.
Hambatan utilitas kota juga
merupakan salah satu permasalahan besar dalam sistem drainase Kota Samarinda.
Banyak utilitas kota yang menghambat laju aliran drainase bahkan mengurangi
kapasitas alir saluran drainase. Contoh yang mudah ditemui adalah adanya tiang
listrik PLN yang berada di dalam alur saluran drainase seperti pada saluran
drainase Jl. P. Antasari. Pipa air minum juga merupakan salah satu penghambat
laju aliran dan mengurangi kapasitas saluran, khusus untuk pipa air minum
biasanya akan menghambat laju aliran yang akan masuk gorong-gorong. Pemasangan
pipa air khusus yang melintasi goronggorong sepertinya tidak memperhitungkan
dimensi dari gorong-gorong ataupun box culvert. Akibat dari kecerobohan ini
pemasangan pipa tersebut tidak hanya menghambat laju aliran namun juga
mengurangi kapasitas dimana akibat dimensi pipa tersebut maupun akibat sampah
yang menyangkut pada piapa air tersebut.
· Klasifikasi Drainase
1. Drainase
Sistem Polder
Drainase sistem polder adalah sistem penanganan
drainase perkotaan dengan cara mengisolasi daerah yang dilayani (catchment
area) terhadap masuknya air dari luar sistem, baik berupa limpasan (over
flow) maupun di bawah permukaan tanah (gorong-gorong dan rembesan), serta
mengendalikan ketinggian muka air banjir di dalam sistem sesuai dengan rencana.
Drainase sistem polder digunakan apabila penggunaan drainase sistem gravitasi sudah
tidak dimungkinkan lagi, walaupun biaya investasi dan operasinya lebih mahal. Drainase
sistem polder akan digunakan untuk kondisi sebagai berikut:
1. Elevasi/ketinggian
muka tanah lebih rendah daripada elevasi muka air laut
pasang,
pada daerah tersebut sering terjadi genangan akibat air pasang (rob).
2. Elevasi
muka tanah lebih rendah daripada muka air banjir di sungai (pengendali banjir)
yang merupakan outlet dari saluran drainase kota.
3. Daerah
yang mengalami penurunan tanah (land subsidence), sehingga daerah yang
semula lebih tinggi dari muka air laut pasang maupun muka air banjir di sungai
pengendali banjir diprediksikan akan tergenang akibat air laut pasang maupun backwater
(aliran balik) dari sungai pengendali banjir.
Pengisolasian
dapat dilakukan dengan penanggulan atau dengan mengelakkan air yang berasal
dari luar kawasan polder. Air di dalam polder dikendalikan dengan system drainase,
atau kadang-kadang dikombinasikan dengan sistem irigasi. Dengan demikian, polder
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
1. Polder
adalah daerah yang dibatasi dengan baik, dimana air yang berasal dari
luar
kawasan tidak boleh masuk, hanya air hujan (dan kadang-kadang air rembesan)
pada kawasan itu sendiri yang dikumpulkan.
2. Dalam polder tidak ada aliran permukaan bebas
seperti pada daerah tangkapan air alamiah, tetapi dilengkapi dengan bangunan
pengendali pada pembuangannya (dengan penguras atau pompa) untuk mengendalikan
aliran keluar.
3. Muka
air di dalam polder (air permukaan maupun air bawah permukaan) tidak bergantung
pada permukaan air di daerah sekitarnya dan dinilai berdasarkan elevasi lahan,
sifat-sifat tanah, iklim dan tanaman.
Komponen-komponen
yang harus ada pada sistem polder meliputi :
1. Tanggul
keliling dan/atau pertahanan laut (sea defense) atau konstruksi
isolasi
lainnya.
Tanggul
keliling dalam sistem drainase polder memiliki kesamaan fungsi dengan pintu
air, yaitu untuk mengisolasi atau memproteksi daerah tangkapan (catchment
area)/pembatas hidrologi sistem polder terhadap masuknya air banjir
dari luar maupun dari pengaruh air laut (pasang surut dan gelombang), baik
yang melalui permukaan tanah maupun di bawah permukaan tanah. Pada
daerah datar, khususnya daerah pantai, sering dihadapi kondisi saluran drainase mempunyai pembuangan (outlet)
di badan air yang muka airnya berfluktuasi. Saluran drainase yang
membuang langsung ke laut dipengaruhi oleh pasang surut, sedangkan
drainase yang membuang ke saluran pengendalibanjir dipengaruhi oleh tinggi
banjir. Pada kondisi air di hilir tinggi, baik akibat pasang maupun air
banjir, maka air dari drainase tidak dapat mengalir ke pembuang, bahkan
dimungkinkan terjadi aliran balik. Pada ujung saluran drainase perlu
dilengkapi dengan bangunan pengatur berupa pintu pengatur untuk
menghindari terjadinya aliran balik. Ada dua kelompok pintu pengatur,
yaitu pintu manual dan pintu otomatis. Penggunaan pintu manual untuk
sistem drainase atau pengendalian banjir banyak kekurangannya, yaitu:
1.
Air
pasang atau banjir dapat terjadi kapan saja dan sering terjadi tengah
malam.
Pada saat itu, operator pintu sering ketiduran.
2. Pada pintu ukuran besar, pembukaan secara
manual sangat memakan waktu dan kemungkinan bisa kalah cepat dengan datangnya
banjir.
2. Sistem
drainase lapangan (field drainage system).
Sistem drainase lapangan (lahan) disebut juga
sistem minor, sedangkan system pembawa dan penguras disebut sistem utama (mayor).
Sistem pembawa terdiri dari saluran tersier, sekunder, dan primer. Keempat
komponen dalam system drainase harus direncanakan secara terpadu, tidak ada
artinya membuat system lapangan (lahan) yang bagus dan penguras yang handal
dengan kapasitas yang besar jika sistem pembawanya tidak mampu menyalurkan air
dari lapangan (lahan) ke penguras. Titik awal dalam perencanaan sistem drainase
adalah tingkat lapangan (lahan), perencanaan bagian-bagian yang lain tergantung
pada keluaran yang diperoleh dari lapangan (lahan). Sistem drainase lapangan
didesain sebagai sistem minor yang berfungsi menangkap air (interceptor
drain), sedangkan system pembawa dan outfall sebagai sistem induk.
3. Sistem pembawa (conveyance system).
Sistem pembawa terdiri dari saluran tersier,
sekunder, dan primer, berfungsi untuk menyalurkan genangan yang terjadi pada
daerah tangkapan yang terletak di dalam sistem polder kekolam penampung dan ke
stasiun pompa, sedangkan kondisi badan air penerima di luar kawasan drainase
harus juga dipertimbangkan. Kesulitan mungkin muncul berkaitan dengan pengaruh
air balik pada sistem yang mengandalkan sistem gravitasi, pengendapan sedimen
(seperti delta), energi yang terbatas khususnya dalam drainase pasang surut. Sistem
pembawa harus menjamin dapat menampung debit banjir maksimum dan ketinggian
muka air banjir disepanjang saluran drainase dan diusahakan selalu dibawah
permukaan tanah diseluruh daerah tangkapan drainase system polder termasuk pada
daerah cekungan dengan tinggi jagaan tertentu. Slope (kemiringan) dasar saluran
dan muka air ditentukan berdasarkan slope muka tanah rata-rata, ketinggian
dasar saluran tergantung pada ketinggian muka air banjir dan kedalaman air yang
dipakai.
4.
Kolam penampung dan
stasiun pompa (outfall system).
Kolam
penampungan (retensi) adalah suatu bangunan atau konstruksi yang berfungsi
untuk menampung sementara air banjir atau hujan dan sementara itu sungai
induknya tidak dapat menampung lagi debit banjir yang ada. Perencanaan kolam penampungan
ini dikombinasikan dengan pompa sehingga pembuangan air dari kolam penampungan
bisa lebih cepat. Untuk mengantisipasi agar kolam penampungan tidak meluap
melebihi kapasitasnya maka petugas yang mengoperasikan pompa harus selalu siap
pada waktu hujan. Suatu daerah dengan elevasi muka tanah yang lebih rendah dari
muka air laut dan muka air banjir di sungai menyebabkan daerah tersebut tidak
dapat dilayani oleh drainase sistem gravitasi. Maka daerah tersebut perlu
dilengkapi dengan stasiun pompa. Pompa ini berfungsi untuk membantu
mengeluarkan air dari kolam penampung banjir maupun langsung dari saluran
drainase pada saat air tidak dapat mengalir secara gravitasi.
5.
Badan air penerima (recipient
waters)
Badan
air penerima (recipient waters) berfungsi sebagai tempat akhir buangan
drainase dari sistem drainase polder berasal dari sistem pembawa (confeyance
system) berfungsi untuk menyalurkan genangan pada daerah tangkapan yang
terletak di dalam sistem polder kekolam penampung dan ke stasiun pompa (outfall
system). Badan air penerima (recipient waters) dalam sistem polder
terletak diluar sistem drainase seperti : sungai utama (main drain)/sungai
banjir kanal (dari stasiun pompa dibuang ke sungai utama) , laut (dari stasiun
pompa langsung dibuang kelaut).
Kelima
komponen sistem polder harus direncanakan secara integral, sehingga sistem
dapat bekerja secara optimal. Tidak ada artinya membangun sistem drainase
lapangan dan outfall yang sempurna dengan kapasitas tinggi, jika saluran
pembawa tidak cukup mengalirkan air dari lapangan ke outfall, demikian
juga sebaliknya.
· Upaya
pemerintah Kota Samarinda Dalam Mengatasi Banjir
Salah
satu tindak lanjut dari strategi pengendalian banjir Kota Samarinda lebih
difokuskan lagi menjadi Konsep Teknis Penanganan Banjir Kota Samarinda dibagi
dalam tiga tahap, yaitu Jangka Pendek (2004-2005), Jangka Menengah (2005-2010),
dan Jangka Panjang (2010-2015). Pembagian kegiatan berdasarkan jangka waktu ini
memungkinkan untuk bergeser menyesuaikan dengan ketersediaan dana dan kondisi sosial
yang berkembang di masyarakat. Konsep penanganan ini dikembangkan berdasarkan
penyebab banjir di Kota Samarinda.
1. Penanganan jangka pendek, adalah
kegatan-kegiatan untuk mengendalikan banjir akibat hujan lokal di lokasi
prioritas dan meningkatkan kesadaran dan keterlibatan masyarakat pada masalah
pengendalian banjir
2. Penanganan jangka menengah, adalah
untuk mengendalikan banjir dari daerah hulu dan penataan DAS dari sungai-sungai
yang melintas Kota Samarinda,
3. Penanganan jangka panjang, adalah
untuk mengendalikan pasang-surut Sungai Mahakam. Program prngendalian banjir
Kota Samarinda yang telah dicanangkan oleh Pemerintah saat ini telah berjalan
hampir dua tahun anggaran.
Bedasarkan program yang telah
direncanakan yang terbagi dalam tiga periode yaitu jangka pendek, jangka
menengah, dan jangka panjang, dijabarkan dalam beberapa kegiatan utama yaitu :
1. Rencana Kegiatan Non Fisik (Makro
dan Mikro)
2. Institutional dan Legal Aspek
3. Rencana Kegiatan Fisik Penanganan
Sistem Mikro
4. Rencana Kegiatan Fisik Penanganan
Sistem Makro
5. Pengadaan dan Pemeliharaan
6. Rencana Kegiatan Fisik Penanganan
Konservasi Institusi pelaksana yang bertanggungjawab atas terlaksananya program
pengendalian banjir tersebut adalah :
1. Pemerintah Kota Samarinda
2. Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur
3. Pemerintah Pusat
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota
Samarinda
Instansi pelaksana di bawah
Pemerintah Kota Samarinda antara lain Dinas Pekerjaan Umum Sub Dinas Binamarga
dan Pengairan, Kimbangkot, dan Bappedalda Kota Samarinda. Sedangkan untuk
instansi pelaksana tingkat propinsi adalah Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Sub
Dinas Pengairan, DPU Cipta Karya, dan Dinas Kehutanan. Sedangkan instansi
pelaksana tingkat pusat dilaksanakan oleh Dinas PU Pengairan dan Proyek
Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai Kalimantan Timur. Berdasarkan sistem
pendanaan program terbagi dalam tiga sumber dana yaitu melalui mekanisme :
1. Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Kota Samarinda (APBD II)
2. Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Propinsi Kalimantan Timur (APBD I)
3. Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN)
4. Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat merupakan
proses teknis untuk memberi kesempatan dan wewenang lebih luas kepada
masyarakat, agar masyarakat mampu memecahkan berbagai persoalan bersama-sama. Pembagian
kewenangan ini dilakukan berdasarkan tingkat keikutsertaan (Level Of
Infolvement) masyarakat dalam kegiatan tersebut. Partisipasimasyarakat
bertujuan untuk mencari solusi permasalahan lebih baik dalam suatu komunitas,
dengan membuka lebih banyak kesempatan bagi masyarakat untuk memberi kontribusi
sehingga implementasi kegiatan berjalan lebih efektif, efisien, dan
berkelanjutan.
Dalam kondisi tersebut, pemerintah
sudah mengusahakan sejumlah hal. Anggaran penanganan banjir setiap tahun pasti
ada. Tahun ini, jumlahnya menurun dari tahun sebelumnya, karena kondisi
keuangan yang memang kurang. Anggaran banjir 2016 menggunakan dana subsidi
Pemprov Kaltim dan APBN,” terang mantan kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan
(DKP) Samarinda. Dikonfirmasi terpisah, Kabid Pengendalian Banjir, Dinas Bina
Marga dan Pengairan (DBMP) Samarinda Desy Damayanti mengatakan, sebelum
penanganan banjir, mesti ada analisis lokasi. “Setiap penyebab banjir, berbeda
pula cara penanganannya. Hanya, dari ratusan titik banjir di Samarinda, soal
sedimentasi drainase menjadi penyebab dominan. Saluran air mendangkal akibat
tertutup tanah, pasir, hingga sampah. Langkah jangka pendek yang mereka lakukan
kini yakni memberdayakan 125 orang tim satuan tugas (satgas) hantu banyu.
“Karena pengurangan anggaran, jumlah itu berkurang. Tahun lalu berjumlah 175
orang,” papar Desy. Untuk operasional dan swakelola tim hantu banyu saja,
pemerintah menggelontorkan Rp 5 miliar. Dana tersebut berasal dari APBD
Samarinda. Sembari itu, pihaknya memaksimalkan keberadaan watermaster
dan ekskavator amfibi untuk membenahi aset penampung air seperti polder.“Pemkot
telah menyiapkan masterplan pengendalian dan penanggulangan banjir untuk jangka
panjang.
E. SIMPULAN
Kota
Samarinda adalah wilayah yang sering tergenang banjir ketika hujan deras. Hal
tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kualitas
drainase yang sudah tidak memadai. Buruknya drainase tersebut disebabkan oleh faktor
alamiah seperti sedimentasi tanah yang tinggi pada saluran drainase, selain itu
tindakan manusia seperti membuang sampah sembarangan. Kualitas drainase yang
seperti ini sangat mempengaruhi sistem poder dalam pengendalian banjir di
Samarinda. Seperti yang kita ketahui di dalam sistem polder terdapat infrastruktur
yang mendukungnya, seperti konstruksi
isolasi, drainase, kolam penampung dan stasiun pompa. Apabila drainase di Kota
Samarinda sudah tidak memadai maka akan mengganggu kelancaran dari sistem
polder. Dampaknya adalah genangan air ketika hujan deras tidak secara konsisten
mengalir ke drainase. Untuk mengatasi masalah banjir, pemerintah Kota Samarinda
sudah memfokuskan pada penanganan jangka pendek, penanganan jangka menengah,
dan penanganan jangka panjang.
Di
samping itu pemerintah juga perlu memperbaiki sistem polder yang ada, misalnya
difungsikannya beberapa pompa di dalam kolam penampungan agar kelebihan air
yang ada lebih cepat mengalir ke sungai yang lebih besar. Selain upaya dari
pemerintah, diharapkan adanya partisipasi dari masyarakat seperti membiasakan
membuang sampah pada tempatnya, melakukan gotong royong untuk membersihkan
sedimentasi tanah pada saluran drainase dsb. Karena masalah banjir adalah
masalah bersama, maka akan lebih efektif jika semua pihak saling bekerjasama
dan peduli terhadap keadaan lingkungan sekitar untuk Kota Samarinda yang lebih baik di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
ü Hasibuan, Malayu S.P. 2005. Manajemen dasar, pengertian
dan masalah. PT Bumi Aksara. Jakarta
ü Irianto, 2006. Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air,
Agro Inovasi, Jakarta.
ü Tim penyusun kamus bahasa indonesai . 2008 kamus bahasa
Indonesia. Jakarta : pusat bahasa.
ü Sugiyono. 2010. Metodologi Penelitian Administrasi. Bandung. Alfabeta.
ü Sugiyono,
2013. Metode
Penelitian Kualitatif. Bandung. Alfabeta
ü Pasalong, Harbani 2012. Metode Penelitian Administrasi
Publik.. Bandung. Alfabeta.
ü Dokumen-dokumen :
ü LAKIP 2013 Dina Bina Marga dan Pengairan Kota Samarinda
ü Rencana Strategi (renstra ) Dinas Bina Marga dan
Pengairan Kota Samarinda
ü Data
daerah rawan banjir dari Bappeda Kota Samarinda
ü Koran :
ü Koran.Kaltim Post
Komentar
Posting Komentar