FINTECH : REVOLUSI INDUSTRI KEUANGAN MODERN
Rima Nur Hidayah


“ There are two big opportunities in future financial industry.. online banking, all financial institutions go online, internet finance, which is purely led by outsiders”. Mungkin benar kalimat yang dikatakan oleh Jack Ma sang pendiri bisnis e-commerce Alibaba. Saat ini teknologi sudah masuk ke semua sektor kehidupan. Sehari-hari manusia tak bisa lepas dari peran teknologi, tak terkecuali di bidang ekonomi.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Mckinsey & Company tahun 2015, mengungkapkan bahwa sejak tahun 2011 layanan digital banking meningkat pesat di seluruh Asia. Pengguna kini telah beralih pada penggunaan komputer, tablet dan smartphone. Sehingga frekuensi berkunjung ke bank dan pelayanan via telepon menjadi lebih berkurang.
Teknologi dalam bidang ekonomi sangat berperan penting dalam menjaga sistem kelancaran pembayaran. Di sektor keuangan pun bermunculan startup companies yang dikenal sebagai perusahaan fintech (Financial Technology). Layanan keuangan berbasis teknologi bukanlah hal yang baru di Indonesia. Pada tahun 1998 automatic teller machine (ATM) hadir di Indonesia yang memungkinkan pelayanan perbankan selama 24 jam tanpa perlu datang ke bank. Kemudian tahun 2000 hadir Real Time Gross Settlement (RTGS) yang merupakan sarana pengiriman uang atau dana seketika (real time) dalam mata uang rupiah antarbank secara elektronik. Perkembangan teknologi keuangan selanjutnya, tahun 2007 masyarakat mulai mengenal transaksi pembayaran secara elektronik yang semakin memudahkan.
Istilah fintech dalam beberapa tahun terakhir semakin populer. Fintech merupakan layanan keuangan berbasis teknologi yang mengubah model bisnis dan melemahnya barrier to entry. Singkatnya, fintech adalah sebuah sistem yang mengawinkan antara financial dengan technology. Hal ini merupakan fenomena seiring dengan meningkatnya pengguna internet dan masif-nya penggunaan smartphone di Indonesia. Keberadaan fintech merevolusi sistem keuangan tradisional, bila dahulu inovasi teknologi hanya berkutat dan dimotori oleh bank, seperti bank menciptakan cek bilyet giro (paper based) dan juga mesin ATM. Namun, sekarang inovasi teknologi didorong oleh layanan kebutuhan customer.
Fintech sendiri dibagi menjadi empat cakupan besar, yaitu : 1) deposit, lending, dan capital raising, yaitu pinjam meminjam berbasis layanan digital, contohnya adalah platform Uangteman, Taralite, dan Modalku 2)  payments, clearing, dan settlement merupakan pola pembayaran berbasis mobile dan web, contohnya seperti platform Bitcoin, Dompetku, dan Inapay 3) Market Provisioning merupakan bentuk dari e-aggregrators, contohnya seperti Sleekr, AturDuit, Tunaiku 4) Investment dan risk management, yaitu sebuah situs yang pola kerja nya mirip dengan financial planner, contohnya Rajapremi, Asuransi88, Jojonomic.
Pertumbuhan fintech di Indonesia dalam kurun beberapa tahun terakhir semakin pesat. Menurut Otoritas Jasa Keuangan diperkirakan terdapat 135 perusahaan fintech di Indonesia yang di dominasi oleh startup karena rata-rata merupakan pemain baru. Jumlah peradaran uang dalam bisnis fintech mencapai US$ 18,5 miliar (setara dengan Rp241 triliun).  Fintech di tanah air mayoritas bergerak dalam bidang payments, clearing dan settlement sebanyak 56%. Peluang bagi fintech untuk menggarap pasar potensial di bidang tersebut semakin besar karena sebanyak 64% masyarakat Indonesia ternyata belum tersentuh oleh layanan perbankan. Selain itu, sebanyak 310 juta pengguna smartphone di Indonesia menjadikan fintech semakin mudah diterima oleh masyarakat.
Keunggulan fintech yaitu memudahkan pengguna untuk melakukan transaksi, menjangkau kelompok yang belum tersentuh pelayanan perbankan, memangkas biaya-biaya yang tidak diperlukan, aman dan efisien. Kegiatan fintech juga mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penyerapan tenaga kerja.
Namun, dibalik potensi dan keunggulan yang dimiliki oleh fintech, masih ada tantangan dan kendala yang menjadi penghambat perkembangan fintech di Indonesia. Pertama adalah infrastruktur, seberapa pun canggih sistem yang dimiliki oleh perusahaan fintech namun apabila tidak didukung oleh infrastruktur maka hal itu akan menjadi percuma. Kedua yaitu masalah regulasi, pertumbuhan fintech di Indonesia harus memiliki regulasi yang jelas. Ketiga, adalah perilaku dan kultur masyarakat yang masih terbiasa melakukan pembayaran tunai.
Pemerintah Indonesia sangat semangat mendorong perkembangan fintech. Karena fintech menyumbang dalam perbaikan ekonomi yang bagus. Inovasi-inovasi hebat dari fintech harus didorong dan terus ditumbuhkan, namun tidak melupakan pentingnya mitigasi risiko dan perlindungan konsumen.
Sebagai bentuk kesadaran Bank Indonesia selaku otoritas sistem pembayaran, bahwa perlu adanya dukungan terhadap layanan keuangan berbasis teknologi untuk menunjang perekonomian yang sehat. Bank Indonesia pun  meresmikan BI Fintech Office (BI FTO) pada November 2016. BI Fintech Office ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan inovasi-inovasi yang berkaitan dengan teknologi dan layanan keuangan, sebagai wadah assesmen, melakukan mitigasi resiko dan melindungi konsumen.
Untuk mencapai tujuan tersebut, BI FTO juga memiliki regulatory sandbox. Regulatory sandbox ditujukan kepada pelaku fintech yang di dominasi oleh startup, yang memiliki produk-produk inovatif namun terkendala dalam regulasi dapat mendaftar dalam program tersebut. Pendaftaran regulatory sandbox bersifat sukarela. Tidak hanya diikuti oleh startup saja, namun juga bisa diikuti oleh perusahaan besar. Namun, tidak semua semua pendaftar bisa masuk regulatory sandbox. Hanya produk yang memiliki kualitas baik, perlindungan konsumen baik, tidak melangar hukum serta memenuhi kriteria dari BI dan OJK yang bisa diluncurkan.
Manfaat lain yang akan didapat dari regulatory sandbox adalah meningkatkan kepercayan konsumen, karena produk tersebut telah diawasi oleh BI maka konsumen merasa aman menggunakan produk tersebut. Selain itu, para pelaku usaha fintech yang telah memenuhi kriteria BI dapat beroperasi secara terbatas tanpa perlu khawatir tersandung masalah regulasi. Analogi dari regulatory sandbox sendiri diibaratkan seperti anak kecil yang boleh bermain pasir dan kotor namun hanya sebatas di kotak pasir dan dalam pengawasan orang tua. Begitulah halnya regulatory sandbox pada perusahaan fintech, bagi yang belum memiliki aturan dan masih baru diberi kesempatan untuk berinovasi dan kreatif namun tetap dalam pengawasan BI.
Selain regulatory sandbox, BI juga mengeluarkan peraturan terkait penyelenggaraan transaksi pembayaran agar meningkatkan perlindungan terhadap konsumen, yaitu melalui Peraturan Bank Indonesia No.18/40/PBI/2016 tentang penyelenggaraan transaksi pembayaran.
Fintech di Indonesia masih seumur jangung. Sehingga pengaruh fintech terhadap stabilitas sistem keuangan tidak berdampak signifikan. Pertumbuhan perusahaan fintech di Indonesia pada masa mendatang diperkirakan akan terus tumbuh pesat, disaat itulah risiko yang dihadapi oleh para pelaku fintech semakin besar dan akhirnya mempengaruhi stabilitas sistem keuangan. Terdapat dua solusi bagi perusahaan fintech kedepannya apabila risiko yang dihadapi menjadi besar. Pertama, perusahan fintech diawasi langsung oleh BI dan OJK. Kedua, yaitu dengan membentuk sebuah komite untuk mengawasi dan sebagai regulator bagi perusahaan fintech di Indonesia.
Fenomena fintech memang hal yang sulit untuk dihindari. Seperti pepatah yang mengatakan “ Tidak ikut, maka akan tertinggal dan mati”. Tentu Indonesia tidak menginginkan hal itu. Dengan besarnya potensi yang dimiliki Indonesia, baik dari segi pasar dan pembiayaan serta didukung penuh oleh otoritas lembaga keuangan dan regulator, maka tak mustahil Indonesia akan menjadi kiblat fintech di negara Asia.







Komentar