Sudah sekitar tujuh bulan berjalan Virus Covid-19 terus meradang di Indonesia. Berbagai kebijakan pun telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam usaha pemutusan mata rantai penyebaran Covid-19 di negeri ini, mulai dari dikeluarkannya peraturan pemerintah nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga keluarnya kebijakan New Normal saat ini. Namun kebijakan kebijakan yang telah diberikan oleh pemerintah terus saja terdapat polemik di dalamnya. Karena nyatanya permasalahan yang ditimbulkan dengan adanya virus ini tidak hanya dari sisi kesehatan saja tetapi juga mendatangkan masalah pada kehidupan sosial dan ekonomi.
Angka kasus positif yang semakin bertambah dan terbatasnya berbagai aktivitas masyarakat yang terus menerus dalam jangka panjang manjadi ancaman bagi perekonomian secara makro. Indonesia diproyeksikan akan bernasib sama dengan kebanyakan negara di dunia yang menderita akibat Covid-19, yakni jatuh ke dalam resesi. Indonesia sudah mengalami kontraksi PDB pada kuartal II-2020 sebesar -5,32%, dan kemungkinan besar kontraksi kembali akan terjadi pada kuartal III-2020.
Lantas jika perekonomian RI sedang berada di ambang resesi maka kebijakan apa yang paling tepat yang seharusnya di ambil oleh pemerintah. Apakah mengedepankan sektor kesehatan (humanity) yang menjadi dasar masalah atau menyelamatkan perekonomian yang sedang berada dipuncakpermasalahan?
Dalam diskusi yang dilangsungkan oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Ekonomi (LKPE) FEB Unmul dalam acara DIORAMA, bersama beberapa tokoh dibidang ekonomi dan kesehatan pada Jumat,12 September 2020 lalu. Dr. Emiliya selaku tokoh akademisi bidang ekonomi mengemukakan bahwa antara kesehatan dan ekonomi tidak bisa dipilih prioritasnya karena keduanya saling terkait dan harus berjalan beriringan.
”Jika tertinggal salah satu akan menyebabkan keterpurukan dalam ekonomi. jika tidak perhatikan kesehatan maka akan tumbang”. Ungkap Dr. Emiliya
Dikesempatan yang sama Ekonom Senior Fungsi Perumusan Kebijakan Ekonomi Keuangan Daerah KPw BI Kaltim bapak Ayi Supriyadi, beliau sependapat bahwa sektor ekonomi dan kesehatan tidak bisa dipisahkan, namun dampak dari kebijakan saling bertolak belakang. Jika kebijakan diterapkan dengan mengedepankan pada segi kesehatan, maka kebijakan yang paling dianjurkan adalah Lockdown total. Namun di sisi lain, kebijakan tersebut akan menghambat aktivitas perekonomian. Sedangkan jika menerapkan dari segi ekonomi, maka disisi lain akan semakin meningkatkan angka kasus Covid-19.
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter pun telah mengeluarkan berbagai kebijakan sebagai usaha dalam mengatasi gejolak perekonomian yang sedang berlangsung. Seperti yang telah diungkap olah bapak Ayi Supriyadi Sejak bulan Februari sebelum munculnya kasus Covid- 19, BI sampai saat ini sudah menurunkan tingkat BI rate sebesar 1%. Selain penurunan BI rate, BI juga senantiasa melakuakan stabilisasi nilai tukar rupiah. Dimana nilai tukar rupiah sempat mengalami pelemahan saat awal terjadinya masa pandemi dan telah lebih stabil untuk saat ini walau sempat terjadi tekanan lagi yang terkait dengan pantauan kondisi dari luar. Selain itu di pasar uang dan valuta asing, BI juga melakukan beberapa kebijakan misalnya dengan melonggarkan aturan terkait dengan BI rate dan lain-lain. Lalu juga melonggarkan likuiditas, melonggarkan makroprudensial dan yang terakhir mendorong sistem pembayaran non tunai. Serta berkoordinasi dengan Pemerintah, OJK dan LPS dalam menjaga stabilitas keuangan Indonesia.
Terkait dengan peran Bank Indonesia lainnya dalam menghadapai kasus Covid-19 adalah membantu pembiayaan APBN. Pemerintah mengeluarkan kebijakan stimulus yang cukup besar. Sampai bulan Agustus Bank Indonesia sudah melakukan injeksi sebesar Rp 651 Triliyun yang salah satunya untuk burden sharing pembiayaan Pemerintah tersebut. OJK juga turut melakukan kebijakan restrukturisasi kredit untuk pembiayaan UMKM.
Jika Pemerintah telah mengeluarkan alokasi dana APBN yang begitu besar juga baik untuk penanganan kasus covid-19 dan permaslahan perekonomian rakyat, lantas mengapa masyarakat pun tetap bersikap tak acuh dan mempertanyakan perihal kebijakan pemerintah?
”Ada beberapa kebijakan yang dilakukan pemerintah, apakah itu tepat sasaran atau tidak. Kebijakannya sudah tepat tapi biasanya di lapagan apakah bener-bener terlaksanakan? APBN berpindah yang harusnya untuk sektor rill berpindah ke social masyarakat. Kesehatan memang penting tetapi kita juga harus memperhatiakan sisi ekonomi. Tidak boleh hanya mengambil dari 1 sisi, hanya saja bagaimana penerapan kebijakan di lapangan”. Pandangan Dr. Emiliya terkait pertanyaan diatas.
Beliaupun menambahkan bahwa dengan pemerintah mengeluarkan anggaran tidak akan sera merta covid juga akan mereda. Karena covid tidak akan berhenti bila habit/ kebisaan dari masyarakat tidak berubah. Oleh sebab itu maka sanggat penting dimasa pandemi ini untuk merubah kebiasaan dari masyarakat.
Sehubungan terkait kebisaan dari masyatakat, dr. Swandari Paramita selaku tokoh akademisi dosen Fakultas Kedokteran Unmul menyampaikan bahwa tidak mudah membuat habit yang baru di masyarakat, sehingga perlunya dua hal. Yaitu yang pertama edukasi dan kedua adalah sanksi, dan diantara keduanya pun harus seimbang agar masyarakat sadar akan bahaya Covid-19. Karena meskipun kemampuan medis baik, lab PCR bagus/kuat, pasien pun tetap semakin banyak karena faktanya masyarakat di lapangan semakin banyak yang terdampak covid 19. Dimana ini disebabkan oleh masyarakat itu sendiri yang masih kurang menerapkan protokol kesehatan.
Ibu dr. Hj. Padilah Mante selaku Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kaltim memberikan tanggapannya terhadap kebijakan yang keluarkan oleh pemerintah pusat.
“pemerintah daerah hanya menunggu perintah dari pusat, dan sampai saat ini peraturan terus berubah ubah. Peraturan dari pemerintah pusat harusnya tidak bisa disamaratakan karena tiap derah berbeda beda tergantung pada zona masing- masing. Kerjasama pun harus dari semua sektor tidak bisa hanya dibebankan kepada dinas kesehatan” - ibu Padilah
Beliau juga mengatakan bahwa terdapat klaster rumah tangga, dan klaster rumah tangga itu yang paling menakutkan. Masyarakat kurang menangkap apa itu artinya isolasi mandiri, sehingga mereka menetap di rumah namun tetap berinteraksi dengan orang lain yang ada di rumahnya. Ini menyebabkan klaster rumah tangga meningkat. Untuk itu maka harus dilakukan evaluasi terhadap isolasi mandiri, karena masih banyak masyarakat yg memilih isolasi mandiri ini kurangdisiplin.
Dan menurut Ibu Padilah yang terpenting adalah masyarakat harus sadar akan bahayanya COVID-19 dan menjalankan 3M (Mencuci tangan, Memakai Masker, dan Menjaga jarak). Karena apabila tidak ada perubahan di masyarakat untuk menjalankan 3M, tidak menutup kemungkinan di pilkada 9 Desember kelak akan adanya klaster baru.
Resesi tidak selalu di ikuti dengan krisis, tetapi resesi dapat menjadi trigger dalam memicu krisis. Jika pandemi lebih meluas dan diikuti dengan kebijaan yangg membatasi ekonomi maka tentunya akan memperparah kondisi ekonomi dan mentrigger terjadinya krisis. Salah satu solusi yang dapat diambil apabila terjadi resesi yakni dengan mengandalkan belanja pemerintah untuk mendorong aktivitas ekonomi. Kemudian serapan anggaran stimulus pun juga tidak boleh lambat. Sementara itu yang terpenting saat ini adalah bagaimana menghentikan penyebaran covid-19. Dan untuk mencegah terjadinya persebaran haruslah dari kesadaran masyarakat itu sendiri yang dapat sangat membantu dalam mengurangi persebaran virus Covid- 19 dan tentu nantinya akan berdampak pada ekonomi itu sendiri.
Komentar
Posting Komentar