Leiden

Karya : Ella Maharani

Juara 1 Cerpen WICOM 2021

Leiden

    “Senja! Apa yang kamu lakukan!” Sentak Fajar, melempar sebilah besi tipis dari pergelangan tangan gadis itu dengan kencang. Cairan merah memenuhi keramik putih milik gadis bermata bening tersebut. Tidak ada desisan yang keluar dari bibir tipis nya.

    “Senja, setidaknya menangislah. Itu akan mengurangi rasa sakitmu. Aku justru tidak sanggup melihatmu seperti orang yang tidak merasakan apa-apa. Kamu tahu, Ja? Kamu sekarang tidak ada bedanya dengan mayat hidup.” Kata Fajar, merobek ujung pakaiannya dan membalut pergelangan tangan Senja. 

    Bulir bening perlahan mengalir membasahi pipi tirus Senja. Isakan kecil perlahan lolos dari bibir ranumnya. Seketika teriakan menggema di setiap sudut kamar Senja.

    “Fajar. Hiks. Hiks. Mengapa kamu membuang pisau itu ? Mengapa kamu mencegahku? Ketika benda itu menyentuh kulitku, rasanya semua rasa sakitku hilang. Aku mau mati, Jar. Aku mau mati aja. Kamu tidak ada hak atas deru napasku. Kamu sama sekali tidak memiliki hak atas nyawaku, Jar. Tidak sama sekali!” Teriak Senja sambil memukul dada bidang milik Fajar.Sebagai orang yang tahu seluk beluk kehidupan Senja membuat hati Fajar ikut teriris mendengar tangis pilu Senja. Perlahan Fajar menarik Senja ke dalam dekapannya. Mengelus surai indahnya dan merapalkan kata-kata untuk menenangkan sahabatnya itu.

    Fajar menangkup pipi Senja dengan kedua tangannya, menghapus jejak air mata yang tersisa, kemudian berkata, “Aku tahu apa yang kamu lalui ini berat, Ja. Mati bukanlah satu-satunya pilihan. Kamu harus ingat Senja, kamu masih memiliki Fajar sebagai tempat bersandar dan menangis. Jangan lakuin hal-hal yang membuat kamu terlihat seperti tidak memiliki siapa-siapa. Janji?” Ujar Fajar sambil menatap manik mata senja dalam. Senja hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda persetujuan atas pertanyaan Fajar. Fajar yang melihatnya tersenyum lega.

“Bisakah Aku menepati janjiku padamu Fajar?” Batin Senja.

    Aku kerap melihatnya_ Fajar dan, ketika perasaan itu muncul, kegelisahan akan kehilangan kerap kali menghantuiku. Namun bukan itu mendung yang menutup awanku. Bukan  itu luka terbesar yang tengah menganga di hatiku. Aku lebih suka mereka menanam kepalsuan dan menyuling kebohongan, daripada mereka harus jujur dan membuatku perlahan hancur. Malam itu juga, awan bergemuruh mengusir bintang-bintang. Hujan mulai berlarian di setapak  jalan. Malam yang gelap dan penuh nestapa menjadi saksi bisu serapuh apa seorang Senja.

    Sebulan sudah berlalu semenjak tindakan nekat dari seorang Senja. Untuk dibilang nekat sepertinya tidak lagi. Karena Senja selalu berusaha melakukannya berkali-kali, tetapi selalu ada hal yang membuat dia selamat. Kejadian waktu itu hampir saja dia berhasil melakukan misinya. Tetapi, entah bagaimana Fajar datang dan menggagalkannya. Dan Tidak ada yang berubah dari seorang Senja. Dia tetaplah gadis ceria di sekolah dan gadis penuh luka saat di rumah. 


Pembohong. 

    “Dasar anak bodoh!” Bentak seorang pria paruh baya, melempar selembar kertas ke hadapan Senja.Tubuh Senja tiba-tiba saja terasa kaku. Pelipisnya sudah penuh akan keringat. Bibirnya pucat pasi. Yah, Senja tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

    “Apa ini Senja? Mengapa nilai kamu bisa turun seperti ini? Bukankah sudah Papa katakan kalau kamu harus bisa mendapatkan nilai sempurna? Lantas apa yang Papa lihat hari ini?  Dasar tidak berguna!” Teriak Papa Senja dengan mengangkat jemari nya tepat di wajah putrinya. Suara teriakan tersebut bahkan dapat terdengar di seluruh sudut rumah mereka.

    “Pa, sudahlah. Lagipula nilai Senja hanya turun satu poin saja. Kedepannya Senja bisa belajar lebih giat lagi. Atau kita bisa tambahkan les untuk Senja.” Ujar Mama Senja. Gadis yang menjadi objek amarah kedua orang dewasa tersebut hanya bisa memicingkan matanya melihat reaksi yang diberikan sang Mama.

    Sesak. Itulah yang Senja rasakan saat mendengar perdebatan keduanya. Oksigen di ruangan ini terasa hilang, menguap entah kemana. Buliran bening mengalir dari manik mata gadis rapuh itu. Dipukulnya dadanya untuk menghilangkan rasa sesak yang menyerang. Sangat sakit seperti ingin mati saja. Apa yang salah dengan nilainya? Itulah yang ada dalam benaknya. Bukankah dia hanya mendapatkan nilai 99? Seburuk itu kah angka tersebut? 

    “Cukup, Pa, Ma. Cukup!” pekik Senja, menatap kedua orang tuanya nyalang. Diusapnya dengan kasar air mata yang lancang menerobos pertahanannya. Terlihat sudah sisi lemah yang selama ini disembunyikannya.

    “Senja minta maaf kalau nilai ini masih sangat buruk untuk kalian. Senja sudah berusaha, Pa. Senja belajar mati-matian, Ma. Tapi Senja lelah. Setiap hari harus menghadiri les ini dan itu. Mulai dari les akademik, les piano, dan les biola. Senja ini manusia, Pa! Senja bukan robot yang bisa kalian kendaliin! Senja muak, Ma, Pa!” teriak Senja dengan sarkas di akhir kalimatnya.

    “Senja tidak bisa menjadi sesempurna itu seperti yang Papa harapkan. Bagaimana bisa Papa meminta Senja untuk menguasai semua itu dengan sempurna dalam satu waktu, Pa? Bagaimana bisa Papa mendorong Senja ke jurang yang sangat mengerikan ini, Pa? Kemana Papa Senja 7 tahun yang lalu? Tolong kembalikan Papa Senja yang sangat menyayangi Senja, Pa.” ungkap Senja dengan buliran kristal yang tidak berhenti menghujani.

    Tidak ada yang bersuara. Ruangan seketika menjadi sunyi usai Senja mengungkapkan isi hatinya selama ini. Hanya ada isakan kecil yang lolos dari bibir Senja. Semuanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.

    Dengan gerakan tiba-tiba, Senja menubruk sosok yang selalu dianggap cinta pertamanya. Papa. Dipeluknya erat sosok pahlawan yang sangat dirindukannya. Ini adalah pelukan pertama sejak sang Papa berubah menjadi sosok yang tak tersentuh oleh tangan mungilnya. Tangan yang dulu memeluknya, secara tiba-tiba 7 tahun yang lalu menjadi tangan yang mendorongnya kejurang kematian. Senja tidak tahu apa alasannya. Tetapi apapun itu, Senja sangat merindukan pria dengan rahang tegas yang ada di dekapannya saat ini.

    “Berani-berani nya kamu memeluk saya!” ujar Papa Senja, mendorong putrinya dengan kasar hingga tersungkur. 

    Senja menatap sang Papa dengan pandangan yang sulit diartikan. Gadis itu mencoba bangkit. Kakinya terasa sangat sulit menopang tubuhnya.

    “Mengapa Papa menolak? Bukankah itu hal biasa yang dilakukan oleh Papa dan anak nya? Senja hanya rindu Papa. Apa itu juga salah, Pa?” tutur Senja menatap sang Papa dalam.

    Terdengar helaan napas berat dari Surya, Papa Senja. Kemudian kaki nya melangkah mendekat ke arah gadis belia itu. Dicengkeramnya dengan kuat bahu Senja. Ringisan yang keluar dari bibir mungil Senja diabaikannya, kemudian dikeluarkannya kata-kata yang mampu menghancurkan Senja hingga tak tersisa.

    “Semua itu memang normal dilakukan oleh anak dengan Papanya, Senja. Tapi Saya bahkan tidak sudi untuk melihat kamu. Kamu tahu kenapa Senja? Karena kamu adalah anak hasil dari perselingkuhan wanita itu dengan laki-laki lain!” teriak Surya, menunjuk ke arah istrinya, Binta.

    “Saya menuntut kamu menjadi sempurna karena itulah satu-satunya cara untuk kamu membalas budi kepada saya. Jika tidak? Kamu sendiri tahu bagaiaman orang-orang memandang anak seperti kamu. Sudah lama saya ingin meninggalkan Mama kamu ini. Tetapi semua itu tidak saya lakukan karena putri saya, Pelangi!” lanjut Surya.

    Senja rasa alat pendengarannya bermasalah hari ini. Apa yang dikatakan Papanya? Senja anak hasil perselingkuhan? Tapi bagaimana mungkin?

    Senja menghampiri wanita yang wajahnya begitu mirip dengannya. Ditatapnya kedua bola mata sang Mama dalam. Mencari kebenaran yang mungkin tidak bisa dikatakan kepada sang Papa. “Ma?” lirih Senja. Ditangkupkannya wajah sang Mama. Diusapnya air mata yang terus mengalir dari pelupuk mata Sang Mama.

    “Papa bohong kan, Ma? Senja ini anak kandung Papa kan, Ma?” Tanya Senja. Yang ditanya hanya menggelengkan kepalanya, seolah menandakan dia setuju dengan apa yang dikatakan suaminya.

    Hancur sudah dunia Senja. Rusak sudah semua istana impian Senja. Tidak ada lagi yang tersisa. Usahanya untuk bangkit dan memulai semuanya rasanya sia-sia. Bahkan orang tuanya tidak peduli lagi dengannya. Ralat. Bukankah Senja ini anak yang tidak diinginkan?

    “Mengapa Papa membiarkan Senja hidup, Pa? Jadi, inikah alasan sikap dingin Papa selama 7 tahun terakhir? Sekarang Senja mengerti semuanya. Terima kasih, Pa. Terima kasih telah mengizinkan Senja mengetahui alasan kebencian Papa ini. Setidaknya Senja merasa lega. Walaupun disini rasanya sangat sakit, Pa” ujar Senja menunjuk dalam relung hatinya yang terluka. Sesaat setelah mengatakan itu, Senja berlari meninggalkan kedua orang dewasa yangmasih tercenung dengan kata-kata Senja. Tanpa Senja sadari, setetes air mata lolos dari sudut mata Surya.

    Terdengar raungan dari ruangan saksi kehancuran seorang Senja. Diambilnya dua tablet untuk menenangkan hatinya yang sangat kacau. Yah, tidak ada yang tahu bahwa Senja mengonsumsi obat penenang tersebut. Sudah setahun terakhir Senja mendatangi psikolog untuk meminta obat-obatan tersebut. Senja merasa sangat depresi dengan semua tekanan yang diberikan keluarganya. Lantas apa yang didengarnya hari ini sudah cukup menjadi alasan terbesar menjadi kehancuran hidupnya. 

    Terdengar gawai yang terus bergetar. Satu dua kali diabaikannya panggilan tersebut Fajar. Setelah merasa tenang diangkatnya panggilan dari orang yang selalu ingin tahu apa yang dirasakan oleh Senja. 

    Disinilah Senja dan Fajar berada. Di sebuah taman dengan suasana asri dan sangatmenyejukkan. Taman dengan air mancur, kursi panjang, pepohonan, dan bunga-bunga yang berhasil mengingatkan Senja tentang masa kecilnya yang bahagia. Tetapi itu dulu sebelum kehidupan Senja berubah dengan sangat menyedihkan. Setelah panggilan yang diterima Senja dari Fajar, mereka memang janjian untuk menghabiskan liburan akhir pekan bersama hari ini.

    “Senja, kemana kita hari ini? Apakah hanya mengobrol panjang di taman ini?” Tanya Fajar.

    “Nggak dong. Kita ke dufan yuk, Jar. Udah lama banget kita tidak kesana. Mau ya?” pinta Senja dengan menunjukkan puppy eyes nya. Senjata terampuh untuk menaklukan Fajar.

    Pada akhirnya Fajar menyetujui permintaan Senja. Ketika mereka tiba di dufan, sangat banyak permainan yang mereka nikmati. Mulai dari arena bermain yang santai hingga permainan yang menguji adrenalin. Senja benar-benar dibuat tertawa keras saat melihat Fajar ketakutan saat menaiki roller coaster. Terlebih saat Fajar mengeluarkan semua isi perutnya setelah turun dari tornado. Sungguh, air muka Fajar berhasil membuat Senja sakit perut akibat tertawa. 

    “Senja. Sudah ya. Capek banget. Gak kasihan apa lihat Aku menderita?” ucap Fajar menghentikan tawa Senja yang terus menggema.

    “Oke. Sorry, Jar. Yaudah Aku juga lelah. Kita makan siang yuk. Lapar banget nih.”ajak Senja pada Fajar. 

    Setelah menikmati hari yang sangat panjang. Disinilah keduanya berada. Di bibir pantai untuk melihat detik-detik matahari menghilangkan senyumnya dari dunia. Yang kemudian akan digantikan dengan jutaan bintang-bintang dan rembulan malam.

    “Fajar,” 

    “Hm, ada apa, Ja?” sahut Fajar.

    “Percaya gak kalau Aku bilang, Senja mau pergi saja?” kata Senja. Fajar yang mendapatkan pertanyaan mendadak hanya mengerutkan dahinya bingung.

    “Fajar dan Senja tidak akan pernah bersatu kan, Jar? Coba saja kita lihat, Jar. Fajar ituadanya di pagi hari sedangkan senja munculnya di sore hari. Kasihan yah mereka. Sekuat apapun mereka berusaha mereka tidak akan pernah berhasil. Sebesar apapun senja mencoba bertahan untuk bertemu fajar, dia akan tetap terkikis oleh gelapnya malam.” Sambung Senja sambil menerawang menikmati sensasi matahari terbenam.

    “Kamu salah, Senja. Mereka memang tidak bisa bertemu. Tetapi mereka saling melengkapi. Mereka membutuhkan satu sama lain. Tanpa fajar bagaimana kita bisa menikmati indahnya cakrawala di pagi hari. Dan tanpa senja, bagaimana matahari terbenam ini akan lengkap keindahannya. Bukankah kita sama seperti mereka?” kata Fajar, dengan senyum di akhir kalimatnya.

    “Kita sama seperti mereka Fajar. Sekuat apapun Aku mencoba, Aku akan tetap gagal. Sekeras apapun Aku berusaha, Aku tetap tidak diinginkan. Ketika Aku tidak lagi dirindukan untuk apa Aku masih berkeliaran. Bukankah lebih baik Aku menghilang? Semoga Fajar selalu merindukan Senjanya. Itulah harapku satu-satunya. Bolehkah Aku ucapkan selamat tinggal?” Batin Senja.

***

Dear Fajar,

Terima kasih untuk semua kekuatan. Terima kasih untuk semua kenangan. Tetapi apa yang Aku katakan hari itu adalah benar. Fajar dan Senja tidak akan pernah bersama. Karena kamu tahu kenapa? Senja sudah lelah berpura-pura. Senja ingin mengalah saja pada malam. Senja selalu menerima langit apa adanya. Tetapi langit yang ingin Senja bangun sudah hancur. Kata Papa, Senja sangat buruk. Senja tidak kuat lagi Fajar. Bukankah mati adalah pilihan yang tepat? Tidak ada lagi yang terluka karena Senja. Papa dan Mama pasti akan sangat bahagia. Fajar kamu tahu, kata orang hanya senja yang tahu cara berpamitan dengan indah. Tetapi Aku rasa ungkapan itu tidak benar. Maafin Senja yang berpamitan dengan sangat mengerikan. Tetapi seperti yang kamu tahu, setiap hal itu terjadi Aku rasanya sangat damai. Orang menganggapnya luka tetapi itulah caraku menutup lukaku. Sampaikan ucapan terima kasih ku kepada Papa dan Mama. Bilang pada Papa Senja, kalau Aku sangat menyayanginya. Bilang juga pada Mama jangan sering menangis. Dan katakan pada mereka, jangan perlakukan Pelangi seperti yang mereka lakukan pada Senja. Sampai jumpa Fajar. Senja pergi dulu yah. Jangan menangis. Menangis membuatmu seperti badut.

-Senja-


    Tangan Fajar bergetar membaca pesan dari Senja. Itu adalah secarik surat yang ditemukan bersama Senja yang sudah berlumuran darah. Ternyata inikah arti kata-kata Senja di pantai hari itu?

    “Bodoh Fajar.” Rutuk Fajar pada dirinya.

    Sehari setelah hari yang mereka lalui dengan bahagia, ternyata Senja melakukan hal yang sangat dinantinya. Dan percobannya malam itu berhasil. Dia berhasil membuat dirinya pergi dari dunia yang kejam ini. Pergi dari bumi dimana tidak ada yang menginginkannya. Benarkah seperti itu? Bagaimana dengan Fajar? 

    “Aku menyesali diriku yang tidak pernah berkata suka padamu. Aku terlalu takut Senja dan Fajar tidak bisa menjadi sahabat lagi. Kehadiranmu selama ini sangat menenangkan. Tetapi mengapa kamu memilih pergi dengan sangat menyakitkan? Pergilah Senja. Terima kasih telah mengajarkanku sesuatu yang baru hari ini. Dari dirimu Aku harus belajar apa arti mengikhlaskan.” Ujar Fajar. Diusapnya gundukan tanah yang menjadi rumah baru Senjanya. Apakah Senja bahagia sekarang? Entahlah.

    Kepergian Senja yang begitu tiba-tiba membuka tabir yang selama ini tersimpan dengan rapi. Mengenai Senja yang selalu meminum obat penenang. Senja yang sering mengunjungi psikolog karena merasa aneh dengan dirinya yang sangat suka melakukan self injury. Dan kebenaran yang paling besar yaitu Senja yang selalu berusaha untuk mati. 

    Kematian Senja membuat hati Surya yang seperti batu luluh seketika. Melihat putrinya tergeletak tak berdaya membuat dia hancur tak tersisa. Penyesalan menyelimuti jiwa raganya. Tetapi apa arti penyesalan itu? Apakah membuat Senja kembali memeluknya? Membuat Senja memanggilnya lagi dengan sebutan Papa? Surya sadar semuanya telah berakhir sejak dia mulai mendorong Senja ke dalam jurang kematian.

    Mama Senja? Dia sangat hancur dan depresi. Bagaimana tidak? Putri yang dijaganya selama 9 bulan di dalam rahimnya, malam itu tergeletak bersimbah darah. Menyesal karena tidak dapat menghentikan perlakuan suaminya. Menyesal karena ikut mendorong Senja agar mati. Menyesal sampai rasanya ingin menyusul pergi bersama Senja. Tetapi apa artinya semua itu? Tidak ada gunanya.

    “Selamat tinggal dunia. Selamat tinggal, Ma. Selamata tinggal, Pa. Selamat tinggal Fajar.” ucap Senja sebelum kesadarannya hilang dan meninggalkan dunia untuk selama-lamanya.

SELESAI

Komentar