Si Peaknose, Grey!

 Karya : Adila Nur W

        Minggu depan, dunia perkuliahan yang diimpikan Una si gadis berambut hitam dengan potongan bob itu dimulai. Ia rela merantau jauh dari keluarganya di Kalimantan ke Yogyakarta seorang diri hanya untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Ia tahu, berat rasanya meninggalkan tempat dimana ia lahir dan tumbuh dewasa hingga umur 18 tahun ini. Tetapi, inilah yang dia inginkan melanjutkan pendidikan di salah satu universitas yang ada di Yogyakarta dalam waktu kurang lebih 4 tahun dan kepulangannya nanti ia berharap bisa membawa kebahagiaan untuk orangtuanya dengan nilai kelulusan yang sempurna yaitu cumlaude.

           Selasa pukul 09.00 WIB, ia sudah tiba di Bandar Udara Internasional Yogyakarta. Ini merupakan kali pertamanya menginjakkan kaki di Kota Yogyakarta, tempat yang akan ia tinggal dalam beberapa tahun ke depan untuk belajar dan ia terpukau akan suasana dan keindahan yang ada di depan matanya. “Sungguh bersyukurnya aku bisa ada disini dan menikmati keindahan yang Allah ciptakan yang tak pernah aku bayangkan, Masyaa Allah” ujarnya dalam hati dengan senyum yang lebar. Ia merasa bahagia dan sangat bersyukur.

          Tiba saatnya menemukan tempat tinggal yang baru untuk ia tinggali di kota ini yang sebelumnya sudah di pesan secara online. Mungkin tempat tinggal ini biasa di sebut kos-kosan oleh kebanyakan orang dan beruntungnya tempat tinggal ini terletak tidak jauh dari kampus serta dikelilingi warung makan yang pastinya pas di kantong mahasiswa. Kosan ini juga sepaket dengan Kasur, lemari dan meja belajar serta terdapat fasilitas wifi gratis yang sangat dibutuhkan mahasiswa walaupun toilet masih di luar dan digunakan bersama. Jadi, dia bisa berhemat dalam penggunaan alat transportasi untuk pergi ke kampus.

          Hal yang ia lakukan pertama kali ketika sampai di kosannya adalah berbaring sebentar untuk mengumpulkan tenaga kemudian mungkin ia akan mengisi perutnya dulu lalu merapikan barang bawaannya itu. Ia kaget mendengar telponnya yang sudah berbunyi tiga kali dan langsung mengangkatnya dalam keadaan masih belum sadar sempurna atau setengah sadar.

“Halo, Assalamu’alaikum..” kata Una ketika mengangkat telpon tersebut sambil menguap.

“Wa’alaikumsalam kak, kok bunda telpon gak diangkat? Kakak baik-baik aja kan?” Jawab bundanya Una dengan khawatir.

“Astaghfirullah, maaf bunda. Tadi Una langsung tidur, lupa kabarin. Bunda gak marah kan?” kata Una dengan perasaan sedih.

“Duh kak, bunda tadi sampai kepikiran yang enggak-enggak sama kakak. Soalnya kakak gak ada kabarin bunda terus di telpon berkali-kali juga gak diangkat. Bunda khawatir kak” ujar Bunda yang terlihat khawatir.

“Maafin Una ya bun, lain kali Una bakal cepat angkat telpon bunda dan kalau sempat bakal kabarin kondisi Una setiap hari deh. Jangan khawatir lagi ya bun” kata Una menanggapi kekhawatiran bunda.

“iya sudah kak, jaga kesehatan, ingat sholat lima waktu dan jangan lupa makan ya. Bunda tutup dulu telponnya. Assalamu’alaikum” kata bunda memberikan pesan.

“iya bun, insyaa Allah.Wa’alaikumsalam” kata Una dengan mengakhiri telepon tersebut.

          Tujuh hari kemudian, di pagi hari ini Una bersiap untuk pergi ke Kampus barunya. Ia tidak sabar akan perkuliahan di hari ini. Sesampainya di kelas, ia menemukan seorang wanita yang berkulit putih dengan rambut panjang yang sedikit bergelombang itu sedang duduk sambil membaca buku novelnya. “Aku sepertinya kenal wanita itu, tapi siapa ya?” pikiran Una dengan terus memandang wanita tersebut. Una berpikir untuk menyapanya. Ketika sudah di depannya,

“Hai, oh! kamu Bia kan? Bia, aku gak nyangka bisa ketemu lagi sama kamu disini. Duh aku kangen bi” sapa Una kaget karena ini pertemuan kembali setelah sekian lamanya dengan sahabat lamanya.

“Una? Masyaa Allah Un, kamu makin cantik. Rindu banget sama kamu. Btw, gimana kabar mu? Sehat kan”. Tanya Bia sambil memeluk Una yang ada di depannya.

“Alhamdulillah sehat Bi seperti yang kamu lihat. Bia, kok tinggi kamu melebihin aku sih? Curang”. Kata Una dengan cemberut.

“Ya Allah, Un. Masa pendek terus sih, aku juga tumbuh dong kayak kamu tapi aku lebih berkembang daripada kamu hehe” ledek Bia kepada Una

“Hm, Nyebelin mu gak berkurang ya”. Kata Una dengan muka datar. Dan mereka meneruskan perbincangan serta tertawa bersama sambil menunggu kelas dimulai.

          Hari semakin sore dan perkuliahan di hari itu sudah selesai. Una penasaran dengan Grey yang diceritakan Bia tadi. Una berencana mampir ke kosannya Bia untuk menemui Grey. Sesampainya disana, dia kaget ternyata Grey adalah seekor kucing lucu berwarna abu-abu yang berhidung pesek. Dan kucing itu pun langsung mendatangi Bia.

“Gemasnya kucing mu Bi” kata Una mengelus kucing tersebut.

“Kamu suka kucing? Bawa nih, aku sering gak di kosan soalnya sibuk kerja hehe”. Tawar Bia

“Hah? Gak deh Bi, aku gak bisa merawatnya”. Tolak Una.

“Bisa Un, Cuma di kasih makan sama minum plus buang pup dan pipnya juga. Hm, nanti aku kasih makanannya deh sama tutorialnya. Paling cuma dua minggu aja Un. Tolong yaa” Mohon Bia sambil menunjukkan muka memelas.

“Mm, yaudah deh Bi. Tapi nanti ajarin ya”. Kata Una pasrah.

          Malam ini Una akhirnya tidur bersama kucing. Una mulai direpotkan dengan kehadiran kucing si Grey itu di kosannya. “Aktif banget sih kamu Grey”. Kata una sambil merekam aktivitas Grey yang lari-lari di kamarnya menggunakan Hpnya. Kini, Una kembali melanjutkan aktivitasnya yang tertunda yaitu membersihkan diri. Lalu ia akan pergi tidur dan sebelum tidur ia harus memberi makan kucing lucu itu.

       Tiga belas hari berlalu, Una terbiasa akan kehadiran kucing tersebut dan ia semakin menyayanginya. Sambil memeluk Grey, Ia berkata “Grey, kamu besok mau di jemput. Hm kok jadi sedih ya”. Disaat Una sedang sibuk memasak dan seketika ia teringat kalau lupa memasukkan Grey kedalam kandang. Una buru-buru mematikan kompor dan mencari Grey di kamarnya tetapi tidak di temukan. Ketika melihat pintu yang terbuka lebar, seketika terbesit pertanyaan “Grey gak kabur kan ya?”. Monolog Una dengan panik. Dan Una langsung keluar untuk mencari kucing sahabatnya itu. Sudah ia cari kemana-mana tetap tidak ditemukannya. Ia frustasi, dan besok Grey akan dijemput. Ia tidak tahu harus bilang apa sama sahabatnya itu. Ia takut bikin Bia kecewa.

            Tiba waktunya Bia menjemput kucingnya itu. Una sangat takut dan menyesal.

Kring kring.. telpon Una berbunyi, dan ternyata Bia yang menelpon. Segera Una angkat “Aa..ass..assalamu”alaikum Bi” jawab Una terbata.

“Wa’alaikumsalam. Un, kosan mu nomor berapa? Aku udah di pagar nih”. Tanya Bia.

“Oh! Sudah sampai? Em..Lantai 1 nomor 17 sebelah kanan”. Jawab Una panik.

“Okay, bukain pintunya dong. Udah di depan pintu”. Bia lagi.

Di dalam kamar, “Mana Grey, Un? Kok gak kelihatan?”. Tanya Bia penasaran.

“Hm, Bi. Jangan marah, kemarin aku masak terus lupa masukkan Grey ke kandang dan sialnya lupa nutup pintu”. Kata Una dengan menundukkan kepala dan merasa menyesal.

“Gimana-gimana? Terus sekarang?” tanya Bia khawatir

“Aku sudah cari kemana-mana Bi. Maaf, tapi tidak ketemu”. Kata Una menyesal.

“Kamu gimana sih Un? Aku sudah percayain nitip ke kamu tapi kenapa dihilangkan? Itu kucing kesayangan aku. Apa jangan-jangan selama ini kamu gak urus Grey dengan benar ya makanya Grey kabur?”. Tuduh Bia emosi dan kecewa.

“Astaghfirullah, gak gitu Bi. Aku selalu ngurus Grey dengan baik. Aku juga gak tahu kalau Grey bakal kabur. Jangan suudzon”. Elak Una juga emosi.

“Terus gimana sekarang? Kamu ganti rugi juga gak bisa. Itu kucing spesial banget buat aku Un, hiks..hiks”. Tangis Bia mulai terdengar.

“Maaf Bi maaf.. Aku gak sengaja. Kita kerja sama cari Grey ya? Bikin selebaran kalau perlu”. Saran Una dengan nada tenang.

“Un, kamu tau Grey berharga banget buat aku..”. kata Bia sambil menatap Una.

“Iya Bi, ayo kita cari sekarang. Aku minta foto Grey ya”. Kata Una sambil meredakan tangisan Bia.

        Hingga sore tiba, Grey belum juga di temukan. Tapi, ada hal yang mencurigakan dari tetangga sebelahnya. Tetangganya itu sekarang selalu menutup pintu kosannya dan sekarang Ia terlihat sedang membawa makanan kucing. “Itu makanan kucing kan ya?” monolog Una sambil menunjuk barang bawaan tetangganya itu.

“Cici punya kucing ya?” tanya Una kepada tetangganya.

“Iya Un, baru kemarin saya adopt”. Jawab tetangganya itu yang di sapa Cici.

“Oh, Adopt dimana ya Ci? Boleh saya lihat?” Tanya Una dengan berharap kalau kucing itu adalah Grey.

“Wait ya.. Saya kedalam dulu”. Kata Cici

Ketika tetangganya itu, Cici membawa kucing yang berwarna Grey keluar untuk ditunjukkan kepada Una. Una kaget dan bersyukur melihat kucing tersebut.

“Alhamdulillah Grey, akhirnya ketemu” seraya memegang Grey dan memeluknya.

“Ini punya kamu Un?” tanya Cici yang terheran.

“Iya Ci, dari kemarin saya cariin gak ketemu. Ternyata sama Cici”. Jawab Una bahagia.

“Bener punya kamu? Saya kemarin nemu di jalan sih terus saya adopt karena keliaran gitu. Boleh minta bukti gak kalau ini bener punya kamu?”. Tanya Cici dengan memicingkan mata.

“Bentar Ci, sambil menunjukkan foto Grey dengan Bia. ini Ci miripkan? Sebenarnya kucing ini punya sahabat saya dan dia menitipkan ke saya. Tolong kembalikan ya Ci”. Ujar Una memohon.

“Yaudah, saya kembalikan. Maaf banget ya, saya gak tahu kucing ini punya kamu dan bukan maksud mau maling”. Kata Cici menyesal.

“Terima kasih ya Ci, sudah merawat kucing ini seharian”. Kata Una sangat berterima kasih.

        Malamnya, Una mengembalikan kucing itu si Grey kepada Bia. Dan Bia sangat berterima kasih. Persahabatan mereka pun kembali baik dan mereka mengambil pelajaran dari kejadian tadi bahwa permasalahan bisa di selesaikan dengan baik tanpa emosi di dalamnya.


Komentar